Sebagai
operator sekolah dadakan, tentunya aku merasakan bagaimana getirnya
mengemban tugas sebagai operator sekolah. Kenapa kubilang aku adalah
operator sekolah dadakan, karena kemungkinan aku adalah satu-satunya
guru TK/PAUD yang diberi
tugas oleh kepala sekolah untuk menjadi operator sekolah pada sekolah
dasar di bawah naungan Kemendikbud. Alasannya apalagi kalau bukan karena
guru-guru di sekolahku masih gaptek, disamping itu usia mereka yang
tergolong sudah tidak muda lagi menjadi pemicu malas bergaul dengan
internet bahkan angkat tangan.
Sebenarnya
kepala sekolah bisa saja mencari tenaga honor untuk diperbantukan
menjadi operator sekolah, namun karena aku bersedia menjadi operator
sekolah, jadi sekolah tidak memerlukan tenaga dari luar.
Seiring
berjalannya tugas menjadi OPS, banyak hal-hal yang kutemukan, suka duka
menjadi operator sekolah mulai kurasakan. Setiap ada program baru dari
kemendiknas, aku selalu diikutkan dalam pelatihan dan sosialisasi, dari
mulai Padamu Negeri/ Simpatika, Dapodikdas, bahkan ternyata tugas akan bertambah,
yaitu pengisian data sasaran kerja pegawai (SKP), dan pelaporan dana BOS
online.
Upah
yang minim menyebabkan OPS berteriak histeris karena tidak sepadan
dengan apa yang dikerjakan. Kalau hanya sekedar input data mungkin bisa
diperbaiki, tetapi bagaimana jika proses pengiriman data dengan cara
sinkronisasi mengalami kendala, walaupun sudah dilakukan dengan berbagai
macam cara tetap saja gagal, gagal dan gagal lagi. Semua itu membuat
operator sekolah garuk-garuk kepala meskipun tidak gatal, akhirnya untuk
mencari celah-celah agar bisa masuk server pusat, begadang pun dilakukan
OPS.
Namun,
sangat disayangkan, kebanyakan guru tidak memahami dan bahkan tidak mau
mengerti bagaimana susahnya menjadi OPS. Orientasi mereka hanya pada
“uang sertifikasi keluar”, kalau tidak, maka OPS lah yang menjadi
sasaran emosi, alhasil umpatan dan cacian pun tidak luput OPS dapatkan.
Upah
Rp. 300.000,- / triwulan, itulah yang aku terima selama menjadi OPS,
dan itupun disisihkan dari dana BOS yang notabene untuk biaya internet.
Jadi tidak ada anggaran khusus untuk menggaji OPS.
Kalau
dihitung-hitung jumlah Rp. 300.000,- habis hanya untuk membeli kouta
internet bahkan aku sering mengeluarkan uang pribadi buat menutupi
kekurangannya. Dan aku yakin apa yang kualami tidak jauh berbeda dengan
OPS-OPS lain, bahkan dari informasi yang kudapatkan tidak sedikit OPS
yang menggunakan laptop pribadi dan membeli modem sendiri.
Sungguh
ironis, hidup mati sekolah ada di tangan operator sekolah, namun sangat
miris karena sepertinya OPS terpinggirkan dan kurang mendapat perhatian
dari pemerintah dengan minimnya upah mereka.
Di
sisi lain, menjadi OPS tidak hanya persoalan materi, tetapi lebih dari
itu, yaitu beban mental, yah….beban mental, itulah yang sampai saat ini
menjadi pertimbanganku untuk mengundurkan diri menjadi OPS